Kamis, 24 November 2011

WSBM

POTRET  WANITA NELAYAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari pesisir. Pesisir merupakan daerah yang sarat akan potensi kelautan, tetapi pada dasarnya masyarakat pesisir yang sebagian bermata pencaharian sebagai nelayan masih identik dengan masalah kemiskinan yang sampai saat ...ini masih menjadi fenomena klasik pesisir. Karena tingkat sosial ekonomi dan kesejahteraan hidup yang rendah, dalam struktur masyarakat nelayan, nelayan buruh merupakan lapisan sosial yang paling miskin, sedangkan sebagian besar nelayan di Indonesia adalah nelayan buruh. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan menjadi wacana yang penting dalam pengembangan wilayah pesisir.
Wanita merupakan suatu potensi, dimana saat ini dalam persaingan global yang semakin menguat dan ketat, maka program pemberdayaan wanita menjadi sangat penting dalam menjawab berbagai tantangan sekaligus memanfaatkan peluang di masa yang akan datang. Posisi wanita yang selama ini cenderung diletakkan lebih rendah daripada laki-laki, menyebabkan kemampuan wanita untuk berkontribusi dan mengembangkan potensi tidak maksimal.
Wanita nelayan adalah suatu istilah untuk wanita yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan. Kaum wanita keluarga nelayan umumnya terlibat dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya.
Wanita nelayan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan pesisir karena posisinya yang strategis dalam kegiatan berbasis perikanan dan kelautan.
Selama ini wanita nelayan bekerja menjadi pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan, dan membuka warung. Namun, peran wanita di lingkungan nelayan belum dianggap berarti sebagai penghasil pendapatan keluarga, pun dianggap income tambahan.
Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program-program pembangunan pesisir mereka tidak banyak tersentuh. Ketika berbicara tentang nelayan yang terlintas dalam pikiran adalah kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Pikiran demikianlah yang mendorong lahirnya program pembangunan perikanan yang bias gender seperti nampak pada berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir. Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya kita, wanita telah lama dikonstruksi secara sosial maupun budaya yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga. Sehingga artikulasi peran wanita nelayan dalam kehidupan sosial dan budaya di pesisir menjadi kurang atau tidak tampak.
Selain itu, wanita nelayan menanggung risiko tinggi akibat tingginya kecelakaan kerja pada usaha penangkapan ikan laut. Pengalaman menunjukkan, pemberdayaan wanita nelayan dalam pembangunan kelautan dan perikanan sulit dikembangkan. Hal ini disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemiskinan yang selalu mengukung mereka.
Beberapa masalah dalam integrasi wanita nelayan dalam pembangunan kelautan dan perikanan antara lain, keadaan pendidikan yang umumnya sangat rendah, tenaga wanita sering tidak dinilai, masih adanya nilai-nilai sosial budaya masyarakat sebagai penghambat berperan sertanya wanita nelayan secara aktif, sedangkan beban kerja wanita dalam keluarga cukup tinggi.
Wanita nelayan saat ini tidak saja berperan dalam lingkup kegiatan domestik keluarga, tetapi harus ikut menopang ekonomi penghidupan keluarga (multiperan). Berkaitan dengan aktivitas atau pekerjaan suami, wanita nelayan mempersiapkan dan memperbaiki jaring.
Pekerjaan istri nelayan lainnya adalah mencari pinjaman atau untuk kebutuhan makan sehari-hari, pengadaan uang untuk keperluan biaya produksi yang utama, yakni perbaikan perahu, maupun alat tangkap dan juga berkaitan dengan pengadaan bekal selama penangkapan atau biaya operasional.
Semua keperluan tersebut oleh si istri diperoleh dari warung terdekat yang biasanya sudah menjadi langganannya. Adapun cara pembayarannya setelah suami pulang dari menjalankan pekerjaannya serta setelah ikan-ikan hasil tangkapannya terjual. Keterbatasan ekonomi keluargalah yang menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak mereka harus bekerja di daerah pesisir.
Pada Hari Kartini 21 April 2008, pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas manusia seharusnya memperhatikan kondisi wanita maupun pria atau bersifat gender sensitif. Pengembangan program pembangunan yang tidak bias gender memiliki arti sangat penting di daerah pesisir disebabkan tidak hanya karena secara kuantitatif jumlah wanita lebih banyak, tetapi karena peran wanita nelayan yang sangat strategis. Partisipasi wanita dalam berbagai aktivitas produktif di pesisir juga telah banyak terbukti mampu mempertahankan kelanjutan ekonomi rumah tangga nelayan.
Dukungan internal tersebut akan lebih optimal jika program-program intervensi oleh pemerintah juga menyentuh kaum wanita nelayan. Berbagai program pembangunan ke depan perlu menyediakan kesempatan kepada wanita nelayan untuk memiliki peluang yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran wanita nelayan dalam pembangunan pesisir hanya dapat dilakukan melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayaan perempuan ke dalam kebijakan nasional, provinsi, atau kabupaten/kota, baik pada ranah perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, maupun evaluasi pembangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar